psikodiagnostik
Definisi Inteligensi
1. Alfred
Binet, seorang tokoh utama perintis pengukuran intelegensi yang hidup
antara tahun 1857-1911, bersama Theodore Simon mendefinisikan
intelegensi sebagai terdiri atas tiga komponen, yaitu (a) kemampuan
untuk mengarahkan fikiran atau mengarahkan tindakan, (b) kemampuan untuk
mengubah arah tindakan bila tindakan tersebut telah dilaksanakan, dan
(c) kemampuan untuk mengeritik diri sendiri atau melakukan
autocriticism.
2. Di
tahun 1961 Lewis Madison Terman mendefinisikan inteligensi sebagai
kemampuan seseorang untuk berfikir secara abstrak, sedangkan H.H Goddard
pada tahun 1946 mendefinisikan inteligensi sebagai tingkat kemampuan
pengalaman seseorang untuk menyelesaikan masalah-masalah yang langsung
dihadapi dan untuk mengantisipasi masalah-masalah yang akan datang.
3. V.A.C.
Henmon, salah seorang diantara penyusun Tes Inteligensi Kelompok Henmon
– Nelson, mengatakan bahwa inteligensi terdiri atas dua macam faktor,
yaitu (a) kemampuan untuk memperoleh pengetahuan, dan (b) pengetahuan
yang telah diperoleh (Wilson, dkk., 1974, dalam Azwar, 1996). Definisi
ini agak bersesuaian maksudnya dengan definisi yang pernah diusulkan
oleh Baldwin di tahun 1901 yang mengatakan inteligensi sebagai daya atau
kemampuan untuk memahami (Wechsler, 1958, dalam Azwar, 1996).
4. Edward
Lee Thorndike (1913), seorang tokoh psikologi fungsionalisme yang hidup
antara tahun 1874-1949, mengatakan bahwa inteligensi adalah kemampuan
dalam memberikan respon yang baik dari pandangan kebenaran atau fakta
(Wilson, dkk., 1974, dalam Azwar, 1996).
5. Di
tahun 1941, George D. Stoddard menyebut inteligensi sebagai bentuk
memampuan untuk memahami masalah-masalah yang bercirikan (a) mengandung
kesukaran, (b) kompleks, yaitu mengandung bermacam jenis tugas yang
harus dapat diatasi dengan baik dalam arti bahwa individu yang inteligen
mampu menyerap kemampuan baru dan memadukannya dengan kemampuan yang
sudah dimiliki untuk kemudian digunakan dalam menghadapi masalah, (c)
abstrak, yaitu mengandung simbol-simbol yang memerlukan analisis dan
interpretasi, (d) ekonomis, yaitu dapat diselesaikan dengan menggunakan
proses mental yang efisien dari segi penggunaan waktu, (e) diarahkan
pada suatu tujuan, yaitu bukan dilakukan tanpa maksud melainkan
mengikuti suatu arah atau target yang jelas, (f) mempunyai niali sosial,
yaitu cara dan hasil pemecahan masalah dapat diterima oleh nilai dan
norma sosial, dan (g) berasal dari sumbernya, yaitu pola fikir yang
membangkitkan kreativitas untuk menciptakan sesuatu yang baru dan lain.
6. David
Wechsler, pencipta skala-skala inteligensi Wechsler yang sangat popular
sampai waktu ini, mendefinisikan inteligensi sebagai kumpulan atau
totalitas kemampuan seseorang untuk bertindak dengan tujuan tertentu,
berfikir secara rasional, serta menghadapi lingkungannya dengan efektif
(Wechsler, 1958; Bernard, 1965, dalam Azwar, 1996).
7. Walter
dan Gardner pada tahun 1986 mendefinisikan inteligensi sebagai suatu
kemampuan atau serangkaian kemampuan-kemampuan yang memungkinkan
individu memecahkan masalah, atau produk sebagai konsekuensi eksistensi
suatu budaya tertentu. Kemudian Flynn mendefinisikan inteligensi sebagai
kemampuan untuk berfikir secara abstrak dan kesiapan untuk belajar dari
pengalaman.
8. Sternberg
dan Berg dalam sajian suatu reviu terhadap definisi inteligensi dengan
membandingkan atribut yang terdapat dalam berbagai definisi inteligensi
yang pernah dihimpun pada tahun 1921 dan tahun 1986, dalam definisi
berselang lebih dari enam dekade itu tampak bahwa sekalipun rumusan
definisi inteligensi itu mengalami berbagai perubahan dari waktu ke
waktu akan tetapi sejak dulu tidak pernah mengurangi penekanan pada
aspek kognitifnya. Istilah yang digunakan mungkin berbeda namun tetap
mengacu pada makna kognitif.
Teori Inteligensi
1. Thurstone
Thurstone
adalah tokoh Chicago. Ia sependapat dengan Burt bahwa ada faktor c yang
berfungsi pada sejumlah perilaku. Juga sependapat dengan Burt mengenai
adanya faktor s yang jumlahnya banyak sekali, sebanyak perilaku khusus
yang dilakukan oleh manusia yang bersangkutan. Akan tetapi, Thurstone
berpendapat bahwa faktor g itu tidak ada. Menurutnya hanya ada dua
faktor saja, yaitu faktor c dan faktor s.
Adapun faktor c itu menurut Thurstone benyaknya ada tujuh macam, yaitu:
a. Faktor ingatan, kemampuan untuk mengingat, memory, diberi lambang huruf M
b. Faktor-faktor verbal, kecakapan untuk menggunakan bahasa, verbal factor, dilambangkan dengan huruf V.
c. Faktor
bilangan, kemampuan untuk bekerja dengan bilangan, misalnya kecakapan
berhitung, dan sebagainya (numerical factor), dilambangkan dengan huruf
N.
d. Faktor
kelancaran kata-kata, word fluency, dilambangkan dengan huruf W, yaitu
seberapa lancar seseorang mempergunakan kata-kata yang sukar ucapannya.
Faktor ini dianggap pula merupakan petunjuk daripada kelancaran dalam
kerja mental, yaitu mudah tidaknya seseorang mengubah pikirannya atau
mengalihkan pikirannya sesuai dengan kebutuhan.
e. Faktor penalaran atau reasoning, yang diberi lambang huruf R. Faktor ini mendasari kecakapan berfikir logis.
f. Faktor persepsi atau perseptional factor, yang diberi lambang huruf P. Yaitu kemampuan untuk mengamati dengan cepat dan cermat.
g. Faktor keruangan atau spatial factor, yang diberi lambang huruf S. Ialah kemampuan untuk mengadakan orientasi dalam ruang.
Kalau sekiranya ada kecakapan umum, itu bukan karena adanya faktor g, melainkan karena kombinasi faktor c tersebut.
2. Howard Gardener
Howard
Gardner mengembangkan teori multiple intelegence yang mengidentifikasi
dan mengembangkan spectrum yang luas dalam diri setiap anak.
Masing-masing anak akan mengembangkan kecerdasan khusus dalam salah satu
dan kesembilan kecerdasan yaitu kemampuan logika matematika, musik,
kinestetik jasmani, linguistik, spasial, interpersonal,intrapersonal,
naturalistic, dan eksistensial. Gardner mendefinisikan kecerdasan
sebagai kemampuan untuk memecahkan masalah dan menciptakan produk yang
mempunyai nilai budaya.
Sembilan Jenis Kecerdasan menurut Gardner
· Jenis
kecerdasan pertama, kecerdasan linguistik, adalah kecerdasan dalam
mengolah kata. Ini merupakan kecerdasan para jurnalis, juru cerita,
penyair, dan pengacara. Jenis pemikiran inilah yang menghasilkan King
Lear karya Shakespeare, Odyssey karya Homerus, dan Kisah Seribu Satu
Malam dari Arab. Orang yang cerdas dalam bidang ini dapat
berargu-mentasi, meyakinkan orang, menghibur, atau mengajar dengan
efektif lewat kata-kata yang diucapkannya. Mereka senang bermain-main
de¬ngan bunyi bahasa melalui teka-teki kata, permainan kata (pun), dan
tongue twister. Kadang-kadang mereka pun mahir dalam hal-hal kecil,
sebab mereka mampu mengingat berbagai fakta. Bisa jadi mereka adalah
ahli sastra. Mereka gemar sekali membaca, dapat menulis dengan jelas,
dan dapat mengartikan bahasa tulisan secara luas.
· Jenis
kecerdasan kedua, Logis-matematis, adalah kecerdasan dalam hal angka
dan hgika. Ini merupakan kecerdasan para ilmuwan, akuntan, dan pemrogram
komputer. Newton menggunakan kecerdasan ini ketika ia menemukan
kalkulus. Demikian pula dengan Einstein ketika ia menyu-sun teori
relativitasnya. Ciri-ciri orang yang cerdas secara logis-mate-matis
mencakup kemampuan dalam penalaran, mengurutkan, berpikir dalam pola
sebab-akibat, menciptakan hipotesis, mencari keteraturan konseptual atau
pola numerik, dan pandangan hidupnya umumnya bersifat rasional.
· Kecerdasan
Spasial adalah jenis kecerdasan yang ketiga, mencakup bapikir dalam
gambar, serta kemampuan untuk mencerap, mengubah, dan menciptakan
kembali berbagai macam aspek dunia visual-spasial. Kecerdasan ini
merupakan kecerdasan para arsitek, fotografer, artis, pilot, dan
insinyur mesin. Siapa pun yang merancang piramida di Mesir, pasti
mempunyai kecerdasan ini. Demikian pula dengan tokoh-tokoh seperti
Thomas Edison, Pablo Picasso, dan Ansel Adams. Orang dengan tingkat
kecerdasan spasial yang tinggi hampir selalu mempunyai kepekaan yang
tajam terhadap detail visual dan dapat menggambarkan sesuatu dengan
begitu hidup, melukis atau membuat sketsa ide secara jelas, serta dengan
mudah menyesuaikan orientasi dalam ruang tiga dimensi.
· Kecerdasan
musikal adalah jenis kecerdasan keempat. Ciri utama kecerdasan ini
adalah kemampuan untuk mencerap, menghargai, dan menciptakan irama dan
melodi. Bach, Beethoven, atau Brahms, dan juga pemain gamelan Bali atau
penyanyi cerita epik Yugoslavia, se-muanya mempunyai kecerdasan ini.
Kecerdasan musikal juga dimiliki orang yang peka nada, dapat menyanyikan
lagu dengan tepat, dapat mengikuti irama musik, dan yang mendengarkan
berbagai karya musik dengan tingkat ketajaman tertentu.
· Kecerdasan
kelima, kinestetik-jasmani, adalah kecerdasan fisik. Kecerdasan ini
mencakup bakat dalam mengendalikan gerak tubuh dan kete-rampilan dalam
menangani benda. Atlet, pengrajin, montir, dan ahli bedah mempunyai
kecerdasan kinestetik-jasmani tingkat tinggi. Demikian pula Charlie
Chaplin, yang memanfaatkan kecerdasan ini untuk melakukan gerakan tap
dance sebagai "Little Tramp". Orang dengan ke¬cerdasan fisik memiliki
keterampilan dalam menjahit, bertukang, atau merakit model. Mereka juga
menikmati kegiatan fisik, seperti berjalan kaki, menari, berlari,
berkemah, berenang, atau berperahu. Mereka adalah orang-orang yang
cekatan, indra perabanya sangat peka, tidak bisa tinggal diam, dan
berminat atas segala sesuatu.
· Kecerdasan
keenam adalah kecerdasan Antarpribadi. Ini adalah ke¬mampuan untuk
memahami dan bekerja sama dengan orang lain. Kecerdasan ini terutama
menuntut kemampuan untuk mencerap dan tang-gap terhadap suasana hati,
perangai, niat, dan hasrat orang lain. Direk-tur sosial sebuah kapal
pesiar harus mempunyai kecerdasan ini, sama halnya dengan pemimpin
perusahaan besar. Seseorang yang mempunyai kecerdasan antarpribadi bisa
mempunyai rasa belas kasihan dan tanggung jawab sosial yang besar
seperti Mahatma Gandhi, atau bisa juga suka memanipulasi dan licik
seperti Machiavelli. Namun, mereka semua mempunyai kemampuan untuk
memahami orang lain dan melihat dunia dari sudut pandang orang yang
bersangkutan. Oleh karena itu, mereka dapat menjadi networker,
perunding, dan guru yang ulung.
· Kecerdasan
Ketujuh adalah kecerdasan Intrapribadi atau kecerdasan dalam diri
sendiri. Orang yang kecerdasan intrapribadinya sangat baik dapat dengan
mudah mengakses perasaannya sendiri, membedakan berbagai macam keadaan
emosi, dan menggunakan pemahamannya sendiri untuk memperkaya dan
membimbing hidupnya. Contoh orang yang mempunyai kecerdasan ini, yaitu
konselor, ahli teologi, dan wirau-sahawan. Mereka sangat mawas diri dan
suka bermeditasi, berkontemplasi, atau bentuk lain penelusuran jiwa yang
mendalam. Sebaliknya, mereka juga sangat mandiri, sangat terfokus pada
tujuan, dan sangat disiplin. Secara garis besar, mereka merupakan orang
yang gemar bela-jar sendiri dan lebih suka bekerja sendiri daripada
bekerja dengan orang lain. (Armstrong: 1999: 3-6)
· Kecerdasan
kedelapan, Kecerdasan Naturalis (Lingkungan). Gardner menjelaskan
inteligensi lingkungan sebagai kemampuan seseorang untuk dapat mengerti
flora dan fauna dengan baik, dapat membuat distingsi konsekuensial lain
dalam alam natural; kemampuan untuk memahami dan menikmati alam; dan
menggunakan kemampuan itu secara produktif dalam berburu, bertani, dan
mengembangkan pengetahuan akan alam.Orang yang punya inteligensi
lingkungan tinggi biasanya mampu hidup di luar rumah, dapat berkawan dan
berhubungan baik dengan alam, mudah membuat identifikasi dan
kla-sifikasi tanaman dan binatang. Orang ini mempunyai kemam¬puan
mengenal sifat dan tingkah laku binatang, biasanya mencintai lingkungan,
dan tidak suka merusak lingkungan hidup. Salah satu contoh orang yang
mungkin punya inteligensi lingkungan tinggi adalah Charles Darwin.
Kemampuan Dar¬win untuk mengidentifikasi dan mengklasifikasi serangga,
burung, ikan, mamalia, membantunya mengembangkan teori
evolusi.Inteligensi lingkungan masih dalam penelitian lebih lanjut
karena masih ada yang merasa bahwa inteligensi ini sudah termasuk dalam
inteligensi matematis-logis. Namun, Gardner berpendapat bahwa
inteligensi ini memang berbeda dengan inteligensi matematis-logis.
· Kecerdasan
kesembilan, Kecerdasan Eksistensial, intelegensi ini menyangkut
kemampuan seseorang untuk menjawab persoalan-persoalan terdalam
eksistensi atau keberadaan manusia. Orang tidak puas hanya menerima
keadaannya, keberadaannya secara otomatis, tetapi mencoba menyadarinya
dan mencari jawaban yang terdalam. Pertanyaan itu antara lain: mengapa
aku ada, mengapa aku mati, apa makna dari hidup ini, bagaimana kita
sampai ke tujuan hidup. Inteligensi ini tampaknya sangat berkembang pada
banyak filsuf, terlebih filsuf eksistensialis yang selalu
mempertanyakan dan mencoba menjawab persoalan eksistensi hidup manusia.
Filsuf-filsuf seperti Sokrates, Plato, Al-Farabi, Ibn Sina, Al-Kindi,
Ibn Rusyd, Thomas Aquinas, Descartes, Kant, Sartre, Nietzsche termasuk
mempunyai inteligensi eksistensial tinggi.
Kekurangan
atau problem, tapi juga mungkin kelebihan, dari teori kecerdasan ganda
adalah, kecerdasan ini bisa berkembang terus, sebab tergantung syarat
yang bisa dipenuhinya. Gardner (dalam Frame of Mind: The Theory of
multiple Intelligences; 1985) menyatakan; “kecerdasan kandidat” dalam
modelnya “lebih menyerupai pertimbangan artistic ketimbang penaksiran
ilmiah” (hal 63). Dengan demikian, kecerdasan tambahan sebanyak apapun
bisa dimasukkan kedalam model Gardner, karena menurutnya: “Tidak ada,
dan tidak akan pernah ada, daftar kecerdasan manusia yang tidak
terbantahkan dan diterima secara universal….kita bisa lebih mendekati
tujuan itu jika kita berpegang hanya pada satu tingkat analisis
(misalnya neurofisiologis)….” (hal 60). (Barbara K. Given, “Brain-Based
Teaching”, hal 75).
Gardner
menetapkan syarat khusus yang harus dipenuhi oleh setiap kecerdasan
agar dapat dimasukkan dalam teorinya; Empat diantaranya adalah;
1. Setiap
kecerdasan dapat dilambangkan: misal matematika jelas ada lambang,
Musik ada lambing (not dll), kinestetik ada lambing atau irama gerak
dst, lambaian tangan, untuk selamat tinggal atau mau tidur dll.
2. Setiap
Kecerdasan mempunyai riwayat perkembangan: artinya tidak seperti IQ
yang meyakini bahwa kecerdasan itu mutlak tetap dan sudah ditetapkan
saat kelahiran atau tidak berubah, MI (Multiple Intelligences) percaya
bahwa kecerdasan itu muncul pada titik tertentu dimasa kanak-kanan,
mempunyai periode yang berpotensi untuk berkembang selama rentang hidup,
dan berisikan pola unik yang secara berlahan atau cepat semakin merosot
seiring dengan menuanya seseorang. Kecerdasan paling awal muncul adalah
Musik lalu Logis-Matematis.
3. Setiap
Kecerdasan rawan terhadap cacat akibat kerusakan atau cedera pada
wilayah otak tertentu. missal orang dengan kerusakan pada Lobus Frontal
pada belahan otak kiri, tidak mampu berbicara atau Penulis dengan
mudah,namun tanpa kesulitan dapat menyanyi,melukis dan menari. Orang
yang lobus Temporalnya kanan yang rusak, mungkin mengalami kesulitan
dibidang music tetapi dengan mudah mampu bicara, membaca dan menulis.
Pasien dengan kerusakan pada Lobus oksipital belahan otak kanan mengkin
mengalami kesulitan dalam mengenali wajah, membayangkan atau mengamati
detail visual. (Thomas Amstrong, 1999, hal 8).Kecerdasan linguistic ada
pada belahan otak kiri, sementara music, spatial dan antarpribadi
cenderung di belahan otak kanan. Kinestetik-jasmani menyangkut kortek
motor, ganglia basal, dan serebellum (otak kecil). Lobus frontal
mengambil peran penting pada kecerdasan intrapribadi (intrapersonal).
4. Setiap
kecerdasan mempunyai keadaan akhir berdasar nilai budaya. Artinya tidak
harus matematis-logis yang penting atau Spatial atau Musik atau…atau
tergantung budaya masing-masing missal ada kemampun naik kuda, melacak
jejak dll dalam budaya tertentu itu sangat-sangat penting dst.
Inilah
empat syarat yang diberikan oleh Howard Gardner, makanya teorinya
berkembang dari 7 Kecerdasan (Linguistik, Logis-Matematis, Musik,
Spatial-Visual, Kenestetik, Intrerpersonal dan intrapersonal) Menjadi 9
(tambahan 2 yaitu; Naturalis dan terbaru Eksistensialis).
Adalah
menarik sebagai contoh; bagaimana anda menghafal nomor telpon? Apakah
anda mengulang-ngulang nomor tadi sebelum menelpon (ini berarti anda
menggunakan teknik Liguistik) atau anda menbayangkan pola tombol yang
harus anda tekan dalam pola peletakan tombol angka-angka (menggunakan
metode Spatial-Visual) atau malah anda mengingat-ingat nada khas
tiap-tiap angka (strategi Musikal).
3. Spearman, teori Dwi-Faktor
Dengan
teknik analisis faktor Spearman menemukan bahwa setiap perilaku manusia
itu dimungkinkan oleh dua faktor, yaitu (a) faktor umum (general
factor), dan (b) faktor khusus (special factor). Faktor umum atau
general factor, yang dilambangkan dengan huruf g, merupakan faktor yang
mendasari semua perilaku orang, sedangkan faktor khusus atau special
factor, yang dilambangkan dengan huruf s, hanya berfungsi pada
perilaku-perilaku khusus saja. Uraian di atas dapat diberi ilustrasi
sebagai berikut:
Perilaku 1 = Pl1 = g + s1
Perilaku 2 = Pl2 = g + s2
Perilaku 3 = Pl3 = g + s3
Perilaku 4 = Pl4 = g + s4
Perilaku 5 = Pl5 = g + s5
Selanjutnya,
Spearman berpendapat bahwa faktor g itu tergantung kepada dasar,
sedangkan faktor s dipengaruhi oleh pengalaman (lingkungan).
4. Sternberg
Menurut
Sternberg, inteligensi mengandung kemampuan-kemampuan analitis, kreatif
dan praktis. Di dalam berpikir analitis, kita berusaha menyelesaikan
masalah-masalah yang dikenal dengan menggunakan strategi-strategi yang
memanipulasi elemen-elemen suatu masalah atau hubungan-hubungan diantar
berbagai elemen (seperti pembandingan, penganalisisan); di dalam bepikir
kreatif, kita berusaha menyelesaikan jenis-jenis baru persoalan yang
membutuhkan upaya untuk memikirkan masalah dan elemen-elemennya dengan
suatu cara yang baru (seperti penemuan, perancangan), dan di dalam
berpikir praktis, kita berusaha menyelesaikan masalah-masalah yang
mengaplikasikan apa yang kita ketahui dalam konteks sehari-hari (seperti
pengaplikasian, penggunaan)
1) Korelasi Inteligensi dengan Dunia Internal (compotential subtheory)
Bagian
ini menekankan pada pemrosesan informasi. Pemrosesan informasi ini bisa
dibedakan berdasarkan tiga jenis komponen yang berbeda dan saling
bergantung sama lain.
,yaitu:
- Meta-komponen (Metacomponents), yaitu proses-prose eksekutif yang lebih tinggi tingkatannya (seperti metakognisi) yang digunakan untuk merencanakan, memonitor dan mengevaluasi pemecahan masalah.
- Komponen-komponen performa (Performance), yaitu proses-proses di tataran yang lebih rendah yang digunakan untuk mengimplementasikan perintah-perintah dari meta-komponen.
- Komponen akuisisi pengetahuan (Knowledge-acquisition components), yaitu proses-proses yang digunakan untuk mempelajari cara menyelesaikan masalah.
2) Korelasi Inteligensi dengan Pengalaman (experiental subtheory)
Teori
triarkis mengenai inteligensi juga menekankan bagaimana menekankan
bagaimana pengalaman terdahulu bisa berinteraksi dengan semua jenis
komponen pemrosesan-informasi, artinya masing-masing dari kita
menghadapi tugas-tugas dan situasi-situasi yang dengannya kita memiliki
berbagai tingkat pengalaman. Tugas-tugas ini biasanya mulai dari tugas
baru sepenuhnya dimana kita tidak memiliki pengalaman sedikit pun,
sampai tugas yang sangat kita kenal dimana, yang kita kuasai memiliki
sebuah pengalaman luas dan mendalam. Ketika sebuah tugas menjadi semakin
dikenal akrab, banyak aspek tugas menjadi otomatis.
3) Korelasi Inteligensi dengan Dunia Eksternal (contextual subtheory)
Teori
triarkis juga mengusulkan bahwa berbagai komponen inteligensi yang
diaplikasikan kepada pengalaman menjalankan tiga fungsi dikonteks dunia
nyata. Fungsi pertama adalah pengadaptasian diri kita dengan lingkungan
sekitar. Fungsi kedua adalah pembentukan lingkungan untuk menciptakan
lingkungan baru, sedangkan fungsi ketiga adalah memilih lingkungan baru.
Kesimpulan dari teori triarkis menunjukkan bahwa teori ini membawa secara bersama bermacam-macam aspek inteligensi. The compotential subtheory mempertimbangkan
penjelasan-penjelasan yang sifatnya memiliki tingkatan yang rendah. Hal
ini menguji dasar mekanisme mental atau komponen dasar dari
inteligensi. The experiental subtheory lebih
mempertimbangkan peran pengalaman dalam inteligensi, ini menunjukkan
bahwa kemampuan inteligensi akan bergerak mengikuti pengalaman yang
telah ada, sedangkan The contextual subtheory mengarahkan pada pandangan terhadap inteligensi dalam level yang tinggi, ini menunjukkan kesesuaian dengan judgment dan nilai adaptasi dalam dunia nyata. Ini menunjukkan bahwa bagaimana internal, mekanisme mental digunakan oleh individu untuk menciptakan sebuah “intelligence fit” (keseuaian inteligensi) dengan dunia luar (Sternberg, 1990).
Richardson
, 1986 mengemukakan bahwa teori triaktis ini mempunyai kelemahan. Teori
ini meliputi begitu banyak bagian-bagian yang berbeda yang membuat
kritik tersebut tidak koheren. Sebagai contoh, dibandingkan dengan teori
Gardner, teori triaktis tidak memiliki kejelasan mengenai kriteria
untuk menjelaskan bagaimana bagian dari fakta-fakta tersebut bisa
termasuk dalam teori triaktis ini. Elemen-elemen Sternberg yang banyak
dan bervariasi itu tidak menunjukkan arti yang penting untuk memahami
perilaku pada individu yang memiliki kemampuan lebih atau sebaliknya.
Kemudian
kritik lain terhadap teori Sternberg adalah bahwa teori ini mengabaikan
asapek biologis dari inteligensi. Komponen-komponen yang bervariasi dan
proses dari teori Sternberg tidak menunjukkan adanya hubungan dengan
fungsi otak. Sebagai pengakuan Sternberg bahwa tidak ada satupun teori
inteligensi yang bisa meliputi semua aspek (1985, 1986).
Namun dalam perkembangan neuroscientific, ketiadaan faktor biologi akan menjadi jurang pemisah yang utama dalam membuat pandangan yang komperhensif.
Alfred Binet
Alfred Binet
dikenal sebagai seorang psikolog dan juga pengacara (ahli hukum). Hasil
karya terbesar dari Alfred Binet di bidang psikologi adalah apa yang
sekarang ini dikenal dengan Intelligence Quotient atau IQ.
Sebagai anggota komisi investigasi masalah-masalah pendidikan di
Perancis, Alfred Binet mengembangkan sebuah test untuk mengukur usia
mental (the mental age atau MA) anak-anak yang akan
masuk sekolah. Usia mental tersebut merujuk pada kemampuan mental anak
pada saat ditest dibandingkan pada anak-anak lain di usia yang berbeda.
Dengan kata lain, jika seorang anak dapat menyelesaikan suatu test atau
memberikan respons secara tepat terhadap pertanyaan-pertanyaan yang
diperuntukan bagi anak berusia 8 (delapan) maka ia dikatakan telah
memiliki usia mental 8 (delapan) tahun.
Test
yang dikembangkan oleh Binet merupakan test intelegensi yang pertama,
meskipun kemudian konsep usia mental mengalami revisi sebanyak dua kali
sebelum dijadikan dasar dalam test IQ. Pada tahun 1914, tiga tahun
setelah Binet wafat, seorang psikolog Jerman, William Stern, mengusulkan
bahwa dengan membagi usia mental anak dengan usia kronological (Chronological Age
atau CA), maka akan lebih memudahkan untuk memahami apa yang dimaksud
“Intelligence Quotient”. Rumus ini kemudian direvisi oleh Lewis Terman,
dari Stanford University, yang mengembangkan test untuk orang-orang
Amerika. Lewis mengalikan formula yang dikembangkan Stern dengan angka
100. Perhitungan statistik inilah yang kemudian menjadi definisi atau
rumus untuk menentukan Intelligensi seseorang: IQ=MA/CA*100. Test IQ inilah yang dikemudian hari dinamai Stanford-Binet Intelligence Test yang masih sangat populer sampai dengan hari ini.
David Wechsler (1896-1981)
Pengaruh
- Mahasiswa: Pearson , Spearman
- Dipengaruhi oleh: EL Thorndike
- Mempengaruhi: Kaufman
- Sisa Zaman: Explorations Kontemporer
Pendidikan
- City University of New York, AB (1916)
- Columbia University, MA (1917)
- University of Paris, experimental psychology research (1919-1922)
- Columbia University, Ph.D. Columbia University, Ph.D. in experimental psychology ( 1925)
Karir
- Psikolog Angkatan Darat ditugaskan ke Camp Logan, Texas (1917)
- Dikirim oleh Angkatan Darat ke University of London untuk bekerja dengan C. Spearman dan K.Pearson(1918)
- Psikolog klinis di Biro Bimbingan Anak, New York City (1922-1925)
- Klinik praktek psikologi swasta (1925-1932)
- Kepala Psikolog, Rumah Sakit Jiwa Bellevue (1932-1967)
- Menampilkan beberapa instrumen penilaian, termasuk: Wechsler-Bellevue Skala Intelijen (1939); Wechsler Memory Scale (WMS) (1945/1997); Wechsler Intelligence Scale for Children (WISC) (1949/2003); Skala Kecerdasan Dewasa Wechsler (WAIS) (1955/1997); Skala Wechsler Preschool primer dan Intelijen (WPPSI) (1967/2002)
Kontribusi Mayor
- Dikembangkan beberapa penilaian, termasuk dua skala intelijen banyak digunakan:
- Wechsler Intelligence Scale for Children (WISC, 1949; WISC-IV®, 2003)
- Wechsler Adult Intelligence Scale (WAIS, 1955; WAIS-III®, 1997)
- Penggunaan deviasi IQ, atau "DQ" (1939)
Teori Inteligensi
Inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif.
secara garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu
kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh
karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan
harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan
manifestasi dari proses berpikir rasional itu.
Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi inteligensi adalah :
Faktor bawaan atau keturunan
· Penelitian
membuktikan bahwa korelasi nilai tes IQ dari satu keluarga sekitar
0,50. Sedangkan di antara 2 anak kembar, korelasi nilai tes IQnya sangat
tinggi, sekitar 0,90. Bukti lainnya adalah pada anak yang diadopsi. IQ
mereka berkorelasi sekitar 0,40 – 0,50 dengan ayah dan ibu yang
sebenarnya, dan hanya 0,10 – 0,20 dengan ayah dan ibu angkatnya.
Selanjutnya bukti pada anak kembar yang dibesarkan secara terpisah, IQ
mereka tetap berkorelasi sangat tinggi, walaupun mungkin mereka tidak
pernah saling kenal.
· Faktor lingkungan
Walaupun
ada ciri-ciri yang pada dasarnya sudah dibawa sejak lahir, ternyata
lingkungan sanggup menimbulkan perubahan-perubahan yang berarti.
Inteligensi tentunya tidak bisa terlepas dari otak. Perkembangan otak
sangat dipengaruhi oleh gizi yang dikonsumsi. Selain gizi,
rangsangan-rangsangan yang bersifat kognitif emosional dari lingkungan
juga memegang peranan yang amat penting.
· Inteligensi dan IQ
Orang
seringkali menyamakan arti inteligensi dengan IQ, padahal kedua istilah
ini mempunyai perbedaan arti yang sangat mendasar. Arti inteligensi
sudah dijelaskan di depan, sedangkan IQ atau tingkatan dari Intelligence Quotient, adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan.
Dengan demikian, IQ hanya memberikan sedikit indikasi mengenai taraf
kecerdasan seseorang dan tidak menggambarkan kecerdasan seseorang secara
keseluruhan.
· Skor
IQ mula-mula diperhitungkan dengan membandingkan umur mental (Mental
Age) dengan umur kronologik (Chronological Age). Bila kemampuan individu
dalam memecahkan persoalan-persoalan yang disajikan dalam tes
kecerdasan (umur mental) tersebut sama dengan kemampuan yang seharusnya
ada pada individu seumur dia pada saat itu (umur kronologis), maka akan
diperoleh skor 1. Skor ini kemudian dikalikan 100 dan dipakai sebagai
dasar perhitungan IQ. Tetapi kemudian timbul masalah karena setelah otak
mencapai kemasakan, tidak terjadi perkembangan lagi, bahkan pada titik
tertentu akan terjadi penurunan kemampuan.